jump to navigation

mahalnya harga sebuah demokrasi January 14, 2009

Posted by franky in coretan ngalor ngidul.
4 comments

gambar by courtesy of dagadu djogdja

(image by courtesy of dagadu djogdja)

Kalo boleh menjawab dari hati yang paling dalam, rasanya lebih baik kalo Indonesia tidak perlu melaksanakan Pemilu di tahun ini, pesta demokrasi, kata sebagian orang. Demokrasi yang mempunyai norma-norma agung penuh jargon: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi dan demokratisasi yang dalam satu dekade ini selalu menjadi keyword dalam perubahan di Indonesia. Walaupun banyak mengandung pengertian yang indah-indah, seperti kemajemukan, partisipasi, kerakyatan, dan lain lain, tetapi tetap saja implementasinya banyak dipengaruhi oleh kepentingan penguasa termasuk persepsi ideologis. Lucunya, walaupun berkonotasi kepada rakyat, tetapi demokrasi lebih memihak kepada elite politik, golongan, penguasa, figur. Siapa banyak uang, bisa jadi caleg, walaupun sangat sangat tidak kapabel, tidak populer, tidak scientific, alias asal bisa membeli massa lewat jargon dan gagasan-gagasan muluk yang sama sekali absurd dan bombastis. Ya, demokrasi di negara kita masih pada taraf jual beli yang tidak demokratis. Ironis. Ditambah massa kita yang sebagian besar juga masih berpegang kepada prinsip materialisme.
Berapa modal untuk membuat partai? berapa modal untuk menjadi caleg? berapa modal untuk kampanye? berapa harga sebuah kursi? belum lagi menjelang pemilu harga sebuah keindahan dan kebersihan kota pun tergadaikan. Yang ada di tepi-tepi jalan adalah foto-foto para caleg dalam ukuran sa-hoh hah yang sangat tidak artistik. Jujur, bagi saya yang ada adalah rasa malu, jika foto kita terpampang besar-besar dengan kualitas cetak yang pas-pasan tanpa sedikitpun nilai artistiknya ditambah dengan pesan seadanya. Berapa juta liter tinta printer atau cat terbuang, berapa ribu kubik kayu penyangga dan bingkai untuk memasang foto, berapa juta lembar plastik ataupun kertas anti air yang digunakan, berapa ton paku yang harus dipakai? Itu hanya untuk baliho/bilboard jelek itu. Belum untuk kaos, slebaran tidak bermutu, dan juga bendera yang desain logonya sama sekali tidak ada yang menarik. Jujur, saya lebih suka logo klub-klub di liga Inggris. Kurang nasionalis? biar saja, kan demokrasi?? Belum lagi cetak kartu suara yang jumlahnya jutaan lembar dan juga kotaknya. Pastinya dengan orientasi proyek, walaupun seindah apa pun tujuannya. Dan semua pengorbanan itu hanya untuk kata: PEMILU. Di pihak para pengusaha percetakan & advertising mungkin ini berkah 5 tahunan. Tapi tidakkah kita sadar, berapa banyak kayu yang dipakai termasuk kertas dan lain-lain itu? Saya tidak mengetahui persis berapa biaya pemilu itu, yang jelas kalo dibuatkan gedung sekolah, dibelikan komputer Pentium III buat anak-anak SD di pedalaman, atau dibangunkan rumah buat para tunawisma, atau sekalian saja untuk membeli alutista buat perang! Duh, kasian para politikus kita, hanya untuk sebuah kursi kadang mengorbankan massanya untuk saling berkelahi, menghasut, curiga, dan saling jegal. Ironisnya dengan dan atas nama nasionalisme, agama, kerakyatan, kebangkitan, kebebasan, atau demokrasi itu sendiri. Dan biasanya dengan enteng, mereka akan jawab “aaah kan 5 tahun sekali?” Kentuut…! Semakin bodoh rasanya kita dibuatnya…karena, setelah semua itu terjadi, rakyat yang diatasnamakan itu tetap saja mencangkul sawah, kesulitan beli minyak tanah, antri beras, kebanjiran, transportasi jelek, makin banyak orang miskin, makin banyak orang bodoh karena mahal kuliah dan kesulitan-kesulitan hidup yang makin bertambah! Ya, kita tidak pernah belajar!

GENTING, hubungan dephut-WWF August 8, 2008

Posted by franky in hutan&lingkungan.
Tags: , , ,
6 comments

( AgroIndonesia, 4 Agustus 2008 ) Hubungan pemerintah dengan salah satu raksasa global asal Amerika, World Wide Fund for Nature (WWF), mencapai titik terendah.  Opsi pemutusan kerjasama pun terbuka, menyusul munculnya beragam kesalahan dan kelalaian yang dilakukan WWF-Indonesia sebagai bagian dari Jaringan global WWF.

Laporan WWF-Indonesia bertajuk Deforestation, Forest Degradation,  Biodiversity Loss and CO2 Emissions in Riau, Sumatera, Indonesia” akhir Februari 2008 benar-benar menimbulkan luka mendalam bagi pemerintah.  Apalagi, untuk memperkuat kampanye, rilis sengaja dibuat dan kontan menyebar ke seluruh dunia.  Bayangkan saja, hanya selang dua bulan dari pelaksanaan COP ke-13 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali, Desember 2007, negeri ini divonis sebagai penyumbang gas karbon skala raksasa.  Hanya dari Provinsi Riau, dua pabrik pulp dan kertas raksasa nasional serta sejumlah perkebunan sawit telah mengubah bentang hutan lahan gambut Riau seluas 4,2 juta hektar menjadi zona pelepas gas rumah kaca.  Luasan ini lebih besar dari negara Belanda!  Bahkan, WWF berani mengklaim dalam 25 tahun terakhir, 65% hutan Riau musnah dan berbuntut pahit anjloknya populasi gajah sampai 84% dan harimau Sumatera 70%.

Sialnya, protes keras Dephut atas laporan dan rilis yang disebarluaskan sampai kini tidak mendapat respon yang diinginkan.  Jawaban memang telah diberikan, tetapi masih normatif dan belum sepenuhnya menjawab apa yang Dephut inginkan.  Padahal dalam pertemuan, Dephut sudah meminta secara tegas jawaban itu.  Yang dimaksud Dephut lewat Sekjennya, adalah bagaimana WWF menetralisir rilis dan laporan yang telah merusak citra Indonesia di panggung internasional.  Hal itu termuat tegas dalam surat resmi Dephut yang ditembuskan ke Menlu dan Menteri Sekretaris Kabinet.  Isinya, WWF-Indonesia harus meralat justifikasi dan kesimpulan laporan kajian serta menyampaikannya ke masyarakat internasional yang telah menerima laporan itu.  Jika tidak, seluruh kerjasama WWF di negeri ini akan dievaluasi.

Evaluasi ini yang sangat genting.  Apalagi, tanpa harus ada ancaman itu, tahun ini adalah periode lima tahun kedua evaluasi komprehensif pelaksanaan kegiatan WWF.  Memburuknya hubungan di saat masuknya masa evaluasi memang koinsiden buruk bagi WWF.  Berbagai fakta negatif serta ketidaksukaan pun akhirnya mencuat dan bisa menjadi justifikasi penghentian kerjasama.  Mulai dari jangka waktu kerjasama yang 25 tahun-WWF satu-satunya LSM dengan jangka waktu kerjasama paling lama, tidak adanya laporan tahunan, sampai kecaman keras aktivitas WWF di Taman Nasional Ujungkulon.

Itu sebabnya, tanpa harus menunggu hasil evaluasi, Menhut MS Kaban langsung memberikan sinyal vonis berat: putus.  Dalam kerjasama seharusnya ada take and give, ada konfirmasi dan agreement yang harus dipatuhi, demikian kata Menhut.  Sinyal itu juga sudah terlihat ketika Dephut “membuang” WWF-Indonesia sebagai mitra dalam program pertukaran hutang dengan kegiatan konservasi (Debt for Nature Swap) antara pemerintah Indonesia dengan Amerika.  Padahal, sejak awal, program di bawah bendera Tropical Forest Conservation Act (TFCA) senilai 19,6 juta dollar AS itu dikawal WWF.  Sebagai informasi, TFCA ini adalah konsep yang digagas tahun 1984 oleh salah seorang pentolan WWF.

Kondisi ini diperparah bahwa WWF-Indonesia telah lalai mengirim laporan tahunan yang jadi kewajiban pada tahun 2007 walaupun saat ini sedang dipersiapkan dan segera dikirim ke Dephut.  Jadi kita lihat dan tunggu, vonis apa yang akan dijatuhkan pemerintah.  Akankah seperti Gibbon Foundation dan TRAFFIC?

ketapang=lautan sawit? July 14, 2008

Posted by franky in hutan&lingkungan.
Tags: , , ,
1 comment so far

Awal datang ke Ketapang, banyak kemajuan yang cukup signifikan bagi perkembangan kabupaten ini.  Padahal sektor perdagangan kayu-khususnya kayu ulin/belian dan bengkirai, yang menjadi primadona-baru saja kolaps gara-gara kedatangan tim dari mabes POLRI.  Berdasarkan analisa empiris saja, kelihatannya perkembangan ekonomi ini lebih disebabkan karena derasnya perusahaan yang menanamkan investasinya untuk membuka perkebunan kelapa sawit.  Hasil investigasi non formal ada sebanyak 83 perkebunan kelapa sawit yang akan dan sedang beroperasi di Kabupaten Ketapang.  Dari yang sepuluh ribu-an hektar sampai 30 ribu hektar lebih.  Dimana lokasinya?? Mau tidak mau, konversi terhadap HPK, HPT, atau pun APL adalah jawabannya.  Ya, 5 atau 10 tahun ke depan, sepertinya kabupaten ini akan berubah menjadi lautan sawit.  Masyarakat kah yang untung?? Negara kah yang untung?? Belum tentu! Yang jelas yang punya konsesi lah yang jauh lebih beruntung!

Walhasil, banyak bank-bank swasta baru, authorized dealer-baik motor ataupun mobil baru, hotel baru, minimarket dengan konsep ruko yang baru, tak ketinggalan juga ekspansi rumah walet yang tetap menggila.  Jumlah kendaraan bermotor pun meningkat drastis, termasuk jenis mobil 4-WD.  Akankah ini bisa mensejahterakan rakyat? Jawabannya bisa ya, bisa juga sebaliknya.  Kalaupun iya sebagai jawabannya, akankah kesejahteraan ini bisa lestari? ataukah hanya bertahan 5 tahun ke depan saja? Hanya Tuhan lah yang tahu jawabannya!

Hanya berlatarbelakang keprihatinan melihat derasnya ekspansi sawit di hutan-hutan alam di Indonesia, saya mencoba membuat banner.  Jika berminat memasang banner di atas di website atau blog pribadi, silahkan kopi-tempel html code berikut:

<a href=”https://frankyzamzani.wordpress.com/&#8221; title=”stop ekspansi sawit”><img src=”https://frankyzamzani.files.wordpress.com/2008/07/banner_stopsawit.gif”><a&gt;